“Kalau regulasi dan pengawasan tetap lemah, bisa-bisa malah makin banyak celah buat tambang ilegal berkedok “legal” lewat UMKM. Jadi, kunci utamanya bukan cuma soal aturan, tapi juga soal eksekusi dan transparansi. Kalau semua pihak serius jalani perannya, ini bisa jadi solusi yang bener-bener berdampak positif. Tapi kalau birokrasi tetap semerawut, ya malah jadi masalah baru yang lebih ruwet lagi,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa masalah bisa tambah ruwet kalau melihat kondisi kampus yang sekarang juga tidak seindependen dulu.
“Banyak kampus sudah dikuasai oligarki alumni yang sekarang jadi pejabat pemerintah atau anggota dewan, jadi rawan kepentingan pribadi atau golongan. Kalau mereka ikut main di urusan tambang, bukannya inovasi dan kontribusi positif yang diutamakan, tapi malah bisa jadi ajang cari untung buat kelompok tertentu,”
“Mahasiswa, yang seharusnya bisa jadi suara kritis dan independen, sekarang sering kehilangan ruang untuk bersikap objektif. Kalau begini terus, kolaborasi kampus di dunia tambang malah bisa makin memperburuk situasi daripada menyelesaikan masalah. Transparansi dan integritas semua pihak jadi harga mati kalau mau sistem ini berhasil. Akan jadi baik jika penambang mengedepankan nurani sebagai panduan etik moral bukan sekedar mencari cuan,” pungkasnya.
Diketahui, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) RI menyepakati hasil pembahasan draf revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menjadi usul inisiatif DPR.
Dalam usul inisiatif itu, perguruan tinggi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).